SiraajSabtu,
8 Rajab 1434 H / 18 Mei 2013 11:00
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Arrahmah.com) – Lazimnya,perempuan biasanya ingin tampil cantik, dan senang dipuji
kecantikannya. Sementara laki-laki lazimnya senang memandang
kecantikan perempuan. Keinginan naluriah itu ada pada manusia. Rasulullah
saw pun memberitahukan, bahwa perempuan dikawini karena empat hal:
kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan juga agamanya. Nabi memerintahkan untuk
mengutamakan faktor agama, jika rumah tangganya mau selamat. Toh, faktor cantik
tidak dilarang untuk dijadikan sebagai pertimbangan. Sebab, itu memang naluriah
laki-laki normal.
Al-Quran juga
menjelaskan, salah satu syahwat dunia adalah kecintaan kepada perempuan,
anak-anak, harta perniagaan,emas dan perak, sawah ladang, dan peternakan. (QS
3:14).
Islam bukanlah agama
yang membunuh naluri manusia, sehingga melarang pemeluknya untuk menikah dengan
alasan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tapi, Islam juga bukan
agama yang memerintahkan umatnya untuk mengumbar nafsu syahwatnya. Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam menunjung tinggi
prinsip keadilan.Islam tidak membunuh hawa nafsu, tetapi mengendalikan dan
mengatur hawa nafsu, sesuai dengan konsep Sang Pencipta, agar manusia meraih
kebahagiaan (sa’adah); bukan sekedar meraih kepuasan syahwat jasmaniah.
Seperti telah kita
bahas dalam CAP-359, peradaban Barat yang mencengkeram pemikiran manusia
modern saat ini, adalah peradaban yang secara ekstrim memuja ‘materi’.
Unsur-unsur fisik
dieksploitasi untuk kepuasan syahwat secara berlebihan. Sementara unsur
“jiwa” (nafs) diabaikan, dan diserahkan kepada kendali syahwat. Peradaban Barat
modern adalah peradaban yang memuja “kekuasaan, kekayaan, kecantikan, dan kepopuleran”
(power,
wealth, beauty, popularity).
Dalam posisi seperti inilah, aspek kecantikan perempuan mendapatkan tempatnya.
Para desainer dan juru gambar berusaha keras bagaimana mengeksploitasi dan
mendandani tubuh perempuan agar “memuaskan”, menarik, dan
membangkitkan syahwat laki-laki. Para manajer eksploitasi syahwat
itu tahu persis, bagian-bagian mana dati tubuh perempuan yang harus dibuka dan
bagian mana yang harus ditutup, agar – kata mereka – tampak indah, cantik, dan
menarik.
Dunia industri
kapitalis yang tidak peduli halal-haram pun tak lupa memanfaatkan
(mengeksploitasi) tubuh perempuan agar menjadi daya tarik konsumen, meskipun
terkadang, tak ada hubungan antara produk dan tubuh perempuan. Misal,
ditampilkannya perempuan seksi untuk mengiklankan produk ban dan cat pengkilat
mobil. Tentu, perancang iklan itu paham betul, bahwa tampilnya perempuan
cantik dengan pakaian ala kadarnya bisa membangkitkan minat (syahwat)
pembeli.
Mantan Menteri
P&K, Dr.Daoed Joesoef memberikan kritik keras terhadap kontes-kontes
kecantikan, dengan menyebutkan bahwa: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang
dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap
hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini
adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan
kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi
kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan
nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah.”
(Dikutip dari buku “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran”(Jakarta: Kompas, 2006).
Itulah sebenarnya
tujuan utama kegiatan kontes kecantikan. Yakni, eksploitasi tubuh perempuan
untuk keuntungan bisnis tertentu. Ironisnya, kegiatan bisnis ini dikemas dengan
jargon-jargon sosial bahkan pendidikan. Seolah-olah, kontes kecantikan
perempuan adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Padahal,
menurut Daoed Joesoef, semua itu adalah bohong belaka. Praktik kontes perempuan
lebih merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pakaian yang ala
kadarnya – biasanya berupa bikini dan sejenisnya – disyaratkan untuk dikenakan
pada sesi tertentu agar tubuh kontestan dapat dilihat dan diukur dengan jelas.
Kata Daoed Joesoef:
“Namun tampil berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda.
Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya
enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang
biasanya tidak diobral untuk setiap orang… setelah dibersihkan lalu diukur
badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual,
tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah.
Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Itu pendapat Dr. Daoed
Joesoef yang dikenal sebagai salah satu tokoh sekuler di Indonesia. Jika tokoh
sekuler saja berani bersikap tegas, seyogyanya para tokoh Islam – apalagi yang
sedang memegang kendali kekuasaan – berani bersikap lebih tegas lagi. Substansi
dari kontes kecantikan yang mengumbar dan mengeksploitasi keindahan tubuh
perempuan adalah pola pikir dan kegiatan yang keliru. Dalam istilah Islam, itu
disebut hal yang batil dan mungkar.
Kata Rasulullah, jika
seorang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan ‘tangan’-nya; jika tidak
mampu, dengan lisan (ucapannnya); dan jika tidak mampu juga, maka ubahlah
dengan hatinya. Tapi, ingkar dengan hati, tidak rela dan benci terhadap
kemungkaran, adalah selemah-lemahnya iman.
Tentu saja orang bisa melihat
pada sisi yang berbeda. Tergantung pada cara pandangnya terhadap realitas (worldview). Seorang yang berpaham materialisme dan
sekulerisme tidak mempersoalkan masalah moral terhadap kontes semacam ini.
Haram-halal, berdosa atau berpahala, ibadah atau maksiat, bukanlah hal penting
bagi kaum materialis. Bagi mereka yang terpenting adalah kelimpahan
materi, ketenaran, dan puja-pujian terhadap kecantikannya.
Cobalah renungkan, betapa kasihannya orang yang terjangkit pemikiran semacam ini. Ia salah. Ia tanpa sadar telah dikendalikan oleh setan untuk mengumbar hawa nafsunya. Hawa nafsu telah dijadikan Tuhan. Orang seperti ini, sudah tertutup mata, telinga, dan hatinya dari kebenaran. (QS 45:23).
Cobalah renungkan, betapa kasihannya orang yang terjangkit pemikiran semacam ini. Ia salah. Ia tanpa sadar telah dikendalikan oleh setan untuk mengumbar hawa nafsunya. Hawa nafsu telah dijadikan Tuhan. Orang seperti ini, sudah tertutup mata, telinga, dan hatinya dari kebenaran. (QS 45:23).
Al-Quran menyebutkan,
bahwa orang yang merasa benar dan merasa telah berbuat baik, padahal amalnya
sesat dan salah, adalah manusia yang paling merugi amalnya. (QS 18:103-104).
Kecantikan bagi
seorang perempuan adalah karunia dan sekaligus ujian Allah bagi si perempuan.
Harusnya, kecantikannya digunakan untuk beribadah dan dakwah. Ironisnya, biasa
kita saksikan, perempuan-perempuan yang terjebak oleh bujuk rayu setan agar
mengeksploitasi kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk menggoncang-goncang
syahwat lawan jenisnya. Dan itu tentu ada imbalan yang menggiurkan, berupa
kemikmatan hidup duniawi.
Untuk tampil cantik –
tepatnya untuk dikatakan cantik – sebagian perempuan mau melakukan
tindakan hina dengan membuka auratnya. Padahal, jika dirnungkan dengan hati
tulus ikhlas, jika jutaan orang sudah memuji-muji kecantikannya, apakah si
perempuan akan bahagia?
Seorang yang
menggantungkan hidupnya pada pujian manusia, tidaklah akan pernah meraih
bahagia sejati. Segala puji hanya layak dipanjatkan kepada Allah. Bukan
manusia yang patut dipuji degan melupakan Allah. Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah. Sebab. kecantikan, ketampanan, ketenaran, kekayaan,
kekuasaan, dapat diraih seseorang hanya karena atas ijin dan karunia Allah.
Jika Allah menghendaki, dalam sekejap, semua kecantikan yang dipuja-puja itu
bisa sirna.
Si empunya kecantikan
sepatutnya mau berpikir, bahwa tak lama lagi, kecantikannya akan pudar .
Kecantikan yang diumbar dan ‘dijualnya’ akan sirna. Puji-pujian itu pun akan
hilang. Bersamaan dengan itu, muncullah perempuan-perempuan yang lebih
cantik dan lebih menarik dari dia. Sungguh kasihan, jika seorang menggantungkan
kebahagiannya pada pujian orang. Sebab, itu tak kan diraihnya. Pujian manusia
bisa buat puas sementara waktu. Bukan kebahagiaan yang hakiki yang hanya bisa
diraih oleh orang taqwa.
Martabat perempuan
Jurnal Islamia-Republika edisi 18 April 2013 menurunkan laporan utama
tentang martabat perempuan dalam pandangan Islam. Dalam artikelnya, “Teologi
Perempuan dalam Islam”, Fahmi Salim – Wasekjen Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia (MIUMI) – mengungkapkan kisah seorang sahabat perempuan
bernama Asma’ binti Yazid yang mengajukan aspirasi kaumnya kepada Rasulullah
saw. Di zaman “pemaksaan paham kesetaraan gender” saat ini, aspirasi
Asma’ perlu kita renungkan.
Ketika itu, Asma’
mendatangi Rasulullah, saat beliau sedang berkumpul dengan sejumlah sahabat
laki-laki. Berikut aspirasi kepada Rasulullah: “Demi Allah yang
menjadikan ayah dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan
seluruh muslimah. Tiada satu pun diantara mereka saat ini kecuali berpikiran
yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan
perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas
aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengandungi anak-anak
kalian. Sementara kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat
berjamaah, shalat jumat, menengok orang sakit, mengantar jenazah, bisa
haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah
atau berjihad, maka kami yang jaga harta kalian, menjahit baju kalian dan
mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua
kebaikan itu?”
Rasul melihat-lihat
para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang
bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?”
“Tidak wahai Rasul,”
jawab sahabat.
Beliau lalu bersabda,
“Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian,
meminta keridhaannya, dan menyertainya ke mana pun ia pergi pahalanya setara
dengan apa yang kalian tuntut”. Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan
bertakbir kegirangan. Kisah diatas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam
kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol.22/420).
Aspirasi Asma’ berbeda
secara substansial dengan aspirasi kaum pegiat kesetaraan gender saat ini.
Asma’ tidak menuntut kesetaraan secara nominal; bahwa perempuan dan laki-laki
harus sama-sama aktif di ruang publik untuk kemajuan pembangunan. Perempuan
yang aktif mendidik anak-anaknya di rumah dengan sungguh-sungguh tidak dianggap
telah berpartisipasi dalam pembangunan. Yang dituntut oleh Asma’ adalah
kesetaraan substansial, bukan kesetaraan nominal. Peran bisa berbeda.
Tapi,peluang untuk meraih pahala dari Allah adalah sama besarnya.
Karena itulah, setelah
Rasulullah memberitahukan bahwa istri yang taat dan diridhai suami serta
menyertai suaminya, mendapatkan pahala yang sama dengan pahala suaminya, maka
Asma’ bertakbir kegirangan. Asma’ tidak menuntut peran yang sama dengan
laki-laki. Yang dituntut adalah pahala dari Allah. Sungguh berbeda tuntutan
Asma’ dengan aktivis gender yang tidak menggunakan logika pahala dan ibadah
saat merumuskan paham “kesetaraan gender” sekuler.
Akibat adanya
kekeliruan dalam menggunakan tolok ukur “martabat perempuan” maka
pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menetapkan angka minimal untuk pengurus
perempuan dalam partai politik adalah 30 persen. Peneliti INSISTS, Dr. Dinar
Dewi Kania dalam artikelnya yang berjudul “Martabat dan Keterwakilan
Perempuan”, mengupas secara tajam kekeliruan cara pandang UU nomor 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai
Politik dalam kaitan dengan martabat perempuan. Kedua Undang-Undang
itu telah memberi mandat kepada partai politik untuk
melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar caleg yang
diusulkan partai politik peserta pemilu.
“Umat Islam seharusnya
dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi
mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan
pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran
sebagai Ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia
ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir, bahwa dengan “memaksa”
perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga, maka laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam,
demi “kemajuan bangsa”? Sementara suami harus menjaga anak-anak bersama
pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di luar
kota?” tulis Dr. Dinar Kania.
Seorang Muslim pasti
memiliki cara pandang yang khas terhadap “martabat perempuan”. Cara pandang
muslim berlandaskan pada prinsip keadilan dalam Islam. Islam mengajarkan
pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang
harta, kedudukan atau jenis kelamin. Allah swt telah menegaskan, bahwa” ….
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan
bahwa nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman,
ketinggian akhlak dan perbuatan-perbuatan baiknya.
Menyimak kekeliruan
dan ketidakberadaban kontes-kontes kecantikan, kita berharap tidak ada orang
Muslim yang ikut-ikutan mendukung berbagai jenis kontes kecantikan, semisal
kontes Miss World. Jadi, kontes Miss World bukanlah hanya soal baju, tapi soal penetapan
dan pemberian penghargaan martabat perempuan yang keliru. Tidaklah tepat jika
ada pemimpin daerah yang menyetujui acara semacam itu, hanya karena pada kontes
kali ini tidak lagi diperagakan parade bikini. Andaikan
kontes Miss World menggunakan mukena sekali pun, kontes semacam itu tetap
keliru, sebab martabat utama perempuan dinilai berdasarkan unsur utama
kecantikan fisiknya. Kontes semacam ini sudah salah menetapkan
martabat perempuan.
Tulisan ini hanyalah
sekedar bentuk taushiyah kepada sesama Muslim, yang masih terlibat dalam acara
Miss World dan sejenisnya. Semoga mereka menyadari kekeliruannya. Cobalah
bayangkan, andaikan di Hari Akhir nanti, penyelenggara acara kontes atau
pemimpin daerah yang menyetujui acara itu, ditanya oleh Allah SWT! Apa jawab
mereka? Apakah mereka merasa telah beramal shalih, karena berhasil mendatangkan
devisa? Apa bedanya dengan meraih penghasilan dari pajak pelacuran dan
perjudian?
Rasulullah
bersabda: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah saya lihat
sebelumnya: para lelaki yang membawa cambuk di tangannya seperti ekor sapi yang
digunakan untuk mencambuk manusia, dan perempuan-perempuan yang berpakaian
tetapi telanjang, sesat dan menyesatkan. Kepala mereka seperti punuk unta yang
miring. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak mencium baunya.” (HR Muslim).
Sebagai pengemban
perjuangan risalah kenabian, tugas kita hanyalah menyampaikan titah baginda
Rasul saw tersebut kepada umat manusia, apa pun agamanya. Semoga bermanfaat
bagi yang mau mengikuti petunjuk-Nya.
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn
Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107
FM dan hidayatullah.com
(hidayatullah/arrahmah.com)
No comments:
Post a Comment